Thursday, May 31, 2018

Ketika Satu Bagian dari Dirimu Hilang


Banyak Anak, Banyak Rejeki
Untuk masyarakat  Indonesia, ungkapan tersebut bukan lagi hal asing untuk didengar. Walau telah berkali-kali pemerintah mencanangkan program pengendalian penduduk, tetap saja istilah tersebut tidak lekang oleh waktu. 

Nah, kebayang apa jadinya pasangan yang telah menikah, minimal di atas satu tahun, yang tidak kunjung memiliki anak? Saya contohnya, lima tahun menikah dan tidak kunjung memiliki anak. Pertanyaan semodel:

"Nunda-nunda ya?"
"Makanya jangan keasyikan kerja,"
"Udah cek ke dokter belum?"
"Coba, deh, program ini katanya bagus untuk cepat dapat keturunan"
"Nanti keburu tua makin susah loh hamil,"

Adalah jenis pertanyaan-pertanyaan standar yang sering saya konsumsi, tidak hanya dari teman terdekat, bahkan dari orang-orang yang bertemu pun jarang. Mungkin karena saya cuek, bagaikan angin lalu, saya biarkan pertanyaan itu terus bergulir. Toh, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan bukan mereka pula yang akan membayar semua keperluan saya melakukan cek ke dokter atau ikut program macam-macam.

Saya sendiri semenjak tahun-tahun awal menikah, bahkan sebelum menikah, sudah melakukan cek kandungan. Demikian juga dengan suami saya, melakukan semua cek keseluruhan. Tidak ada masalah pada kami berdua, memang belum dipercaya saja untuk memiliki anak. Sempat mencoba beberapa program, namun belum ada yang berhasil. Sampai akhirnya kami tiba di fase pasrah. Tidak ada lagi yang ingin kami lakukan kecuali merayakan hari ini. Dan itulah yang kami lakukan.

liburan tahun 2014
Tahun 2014, selepas berlibur bersama, kami mendapat kejutan. Saya hamil. Suatu hal yang tidak disangka-sangka, saya dan suami terima setelah lima tahun menikah. Tentu saja bahagianya luar biasa. Rasanya saat itu juga saya ingin berteriak ke seluruh dunia betapa bahagianya diri. Namun, karena dasarnya saya pencemas, sempat berpikir untuk merahasiakan kehamilan dulu sampai yakin. Setidaknya ada informasi pasti dari tenaga profesional, yaitu dokter.

Februari 2014, saya ingat sekali, kali pertama kami berkunjung ke dokter kandungan. Kehamilan saya berjalan sempurna dan detak jantung janin sudah terdengar. Resmi sudah, saya akan menjadi calon ibu. Saatnya kami beritahu keluarga, dan atasan saya di kantor tentu saja. Takutnya kalau terjadi sesuatu dengan saya, atasan tahu sebabnya. 

Tidak lama setelah pemberitahuan saya ke atasan, beliau menginformasikan rencana untuk tugas luar kota sekitar pertengahn tahun. Kondisi ini membuat saya mau tak mau harus melakukan cek kondisi kandungan, apakah cukup kuat kalau dibawa bepergian. Hitung-hitungan yang saya lakukan sendiri, seharusnya saya sudah masuk trimester kedua saat tugas luar kota terjadi, sehingga kandungan sudah cukup kuat.

Saat kembali bertemu dokter kandungan untuk kedua kalinya, pertanyaan itu adalah yang pertama saya tanyakan. Kondisi saya untuk melakukan perjalanan jauh. Sang dokter hanya tersenyum sambil mengatakan untuk melakukan pengecekan dahulu. Raut muka sang dokter saat melakukan pengecekan saat itu tidak akan saya lupakan sampai kapanpun. Pucat, bingung, heran, perpaduan semua hal itu. Saya mulai mencium ada yang tidak beres dan bertukar pandang dengan suami saya.
Ini detak jantungnya tidak terdengar lagi
Vonis sang dokter.


Saat itu juga saya divonis harus merelakan janin yang baru bersama saya sepuluh minggu. Tidak dapat berpikir lama, saya hanya mengikuti semua anjuran sang dokter. Saya hanya ingat terduduk di mobil, sendiri. Suami saya sibuk melakukan seluruh proses pendaftaran, sementara keluarga saya lainnya tidak ikut mengantar. 

Saya hanya duduk diam di dalam mobil. Merenung. Menyalahkan diri saya atas semua hal yang terjadi. Mengingat-ingat dimana tepatnya kesalahan yang saya lakukan. Apa yang saya lewatkan. Kenapa janin saya pergi secepat ini. Mengapa satu bulan saja saya merasakan indahnya memiliki harapan menjadi seorang ibu.

Saat itu akhir bulan Maret 2014. Dalam sekejap anugerah terbaik dalam hidup saya harus dilepaskan.

Saya ingat pasti lagu apa yang saya dengar saat itu di radio, yang ditinggalkan menyala oleh suami untuk menghibur. Namun, ternyata berfungsi sebaliknya.

Some people wait a lifetime for a chance like this
I’ve waited enough
Baby, no, I won’t let you go
I’m sick of tears and being fierce

Proses kuret hanya memakan waktu sebentar, karena dilakukan sore hari, saya pun memutuskan untuk menginap dan baru pulang keesokan harinya. Semua terjadi di hari Sabtu dan hari Senin saya langsung masuk kantor, tidak cuti yang diambil. Saya pikir, untuk apa saya beristirahat di rumah kalau kondisi saya baik-baik saja. Padahal, saya berhak untuk cuti satu setengah bulan.

Saya salah. 

Secara fisik, saya memang baik-baik saja, tapi tidak dari sisi mental. Efeknya berlanjut berbulan-bulan bahkan satu tahun kemudian. Ketika saya dipercaya hamil kembali, kecemasan selalu melingkupi diri saya selama tiga puluh delapan minggu, sampai akhirnya saya melahirkan. Berulang-ulang saat cek kandungan, pertanyaan saya selalu: bagaimana memastikan kandungan ini bertahan.

Kehamilan pertama terlalu banyak memberikan euforia pada diri saya, take it for granted dapat dibilang. Saat janin saya diambil pun, tidak seharusnya saya menyalahkan dan pasrah terhadap diri saya.  Pasti ada alasan yang terjadi di belakangnya, sesuatu yang tersirat.

Sekarang, empat tahun kemudian, saya menuliskan cerita ini. Sebagai bagian dari pengingat diri saya sendiri tentang kehidupan dan kebenaran dari istilah: indah pada waktunya.

0 comments:

Post a Comment