Sunday, June 14, 2020

Narabahasa Mengingatkan Indahnya Berbahasa Indonesia

This cover has been designed using resources from Freepik.com

Mereka (mahasiswa) menganggap bahasa Indonesia merupakan bahasa yang tidak perlu dipelajari karena mereka merasa sudah mampu menggunakannya dalam berkomunikasi sehari-hari dan merasa jenuh karena bahasa Indonesia sudah dipelajari sejak lahir.
Pengaruh Persepsi Mahasiswa atas Bahasa Indonesia dan Minat Belajar Terhadap Prestasi Belajar Bahasa Indonesia; Jurnal Ilmiah Kependidikan Vol. II no.2 Juli 2015.

Anggapan tersebut tercetus dalam penelitian yang dilakukan seorang mahasiswi Sastra Indonesia di sebuah sekolah tinggi di wilayah Jakarta Selatan. Para subyek penelitian menganggap bahasa Indonesia sudah rutin mereka gunakan sejak lahir, sehingga kata-kata yang didengar tidak lagi asing. Informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik di tahun 2011 (yang diambil dari sini) juga menguatkan anggapan tersebut, 90% lebih penduduk Jakarta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam komunikasi sehari-hari.

Namun, artikel ini berkata lain.

Tidak hanya media di atas yang menyoroti terkait lemahnya penggunaan bahasa Indonesia di kalangan siswa, beberapa media lainnya pun sudah sering menyoroti terkait hal yang sama, dengan sudut pandang yang berbeda. Ada yang beranggapan penggunaannya kalah dengan bahasa asing, ada yang beralasan penggunaan bahasa daerah lebih mendominasi

Satu yang pasti, tingkat literasi di Indonesia masih sangat rendah. Secara tidak langsung, rendahnya minat membaca tentu berpengaruh dengan pemahaman dalam berbahasa. 

Kehadiran Narabahasa untuk Mengajarkan Bahasa Indonesia


sumber: twitter Narabahasa


Sosok Ivan Lanin tentu sudah cukup dikenal sebagai penggiat bahasa Indonesia. Aktivitas yang dimulai dengan aktif sebagai wikipediawan di tahun 2006, membawa Ivan Lanin menjadi pakar yang dikenal menganjurkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta rutin memperkenalkan padanan Indonesia dari istilah asing.

Sejak awal tahun 2020 ini, ketiadaan lembaga bahasa Indonesia yang mengajarkan bahasa Indonesia dengan benar membawa Ivan Lanin mendirikan Narabahasa. Dikutip dari situs resminya, Narabahasa adalah penyedia edukasi, konsultasi, publikasi, dan aplikasi kebahasaan dengan visi "kuasai bahasa, kuasai dunia". Walaupun usianya belum genap satu tahun, Narabahasa sudah rutin memberikan banyak pelatihan daring. Saya sendiri berkesempatan ikut dalam salah satu pelatihannya di akhir bulan Mei lalu.

Tahun 2018 saya sempat menyaksikan langsung Ivan Lanin sebagai salah satu pemateri dalam sesi BukaTalks-nya BukaLapak, dan terus terang saja saya cukup terkesan dengan materi yang dibawakannya. Banyak hal menarik yang saya dapatkan selama kurang lebih satu jam sesi yang dibawakan. Sehingga ketika saya mengetahui terkait kelas-kelas yang dibuka oleh Narabahasa melalui akun Facebook mereka, tentu saja saya sangat tertarik mengikuti. Kapan lagi saya mengikuti sesi yang langsung dipandu oleh Ivan Lanin?


Kelas pertama Narabahasa yang saya ikuti

Jadwal kelas daring mereka cukup padat, bahkan terkadang Ivan Lanin menggaet pembicara lain sebagai narasumber bersama dengan dirinya. Saya sendiri kemarin mengambil kelas Bahasa Media Sosial yang dimentori langsung oleh Ivan Lanin, tanpa narasumber pendamping. 

Mengingat usianya yang masih sangat muda, sangat terkejut sih melihat padatnya jadwal pelatihan yang dibuka. Nampaknya Narabahasa sangat memanfaatkan situasi pandemi saat ini, ketika banyak orang lebih banyak berdiam di dalam rumah. 


Bahasa Media Sosial


Photo by dole777 on Unsplash

Sesi yang dijadwalkan selama 2,5 jam ini berlangsung hampir tiga jam melalui media zoom. Peserta yang dibatasi maksimal 100 saja per sesi sebenarnya sudah terlihat cukup banyak untuk saya. Namun, metode zoom seminar yang dipilih ternyata cukup membuat diskusi nyaman, diskusi dapat berjalan satu arah saat Ivan Lanin memberikan materi dan baru dibuka untuk peserta ikut berdiskusi ketika sesi pertanyaan dibuka. 

Secara garis besar, ada tiga bahasan utama yang diangkat dalam sesi Bahasa Media Sosial ini: wacana yang akan disampaikan, keterampilan penggunaan bahasa dan tata bahasa serta ejaan. Tiga bagian besar ini masing-masing dibagi lagi dalam beberapa pecahan. Untuk sesi 2,5 jam, materi yang diberikan cukup padat dan tidak semua dapat dibahas dengan detail. Karena kurangnya waktu, hanya ada enam pertanyaan yang sempat diberikan oleh peserta saat sesi tanya jawab langsung.

Sisi bagus dari Narabahasa, mereka memberikan kesempatan peserta melemparkan pertanyaan terpisah setelah sesi yang notulensinya dikirimkan ke surel semua peserta setelah dijawab. Sangat rapi dan membantu peserta yang mungkin terlewat menyimak atau bertanya. 



Narabahasa juga mengirimkan materi pelatihan sehari sebelum pelaksanaan sesi, lengkap dengan tata cara bergabung melalui zoom sekaligus tata tertib kelas. Tujuannya tentu dapat dipahami, agar peserta lebih siap menghadapi sesi. Saya sendiri menyukai bagian pemberian materi di awal sesi, jadi saya dapat membaca dahulu apa saja yang akan diberikan dan menyiapkan pertanyaan yang mengusik. Walau terus terang saja, selama sesi saya sedikit terganggu dengan cara Ivan Lanin yang membacakan materi dengan detail, padahal para peserta dapat melihat sendiri. Akan lebih baik apabila Ivan Lanin lebih fokus dengan pemberian contoh sehingga peserta dapat memahami maksud dari teori yang ada.

Selain materi, Ivan Lanin juga mengajak peserta aktif berpikir. Sebelum sesi dimulai, dengan bantuan Kahoot!, peserta diajak untuk ikut menentukan mana kata yang baku dan tidak. Selama sesi, ada dua kali Ivan mengajak peserta latihan penulisan kalimat serta melakukan pengecekan ejaan yang benar. Kesalahan-kesalahan seperti penempatan tanda baca, ketiadaan subyek atau pengulangan kata yang tidak perlu ternyata sering ditemukan dan dianggap umum.

Baku Tetapi Tidak Kaku




Sama seperti yang ditekankannya di sesi BukaTalks di medio 2018 lalu, Ivan Lanin juga kembali menekankan tentang penggunaan Bahasa Indonesia yang baku bukan berarti terdengar atau terucap kaku. Pemilihan diksi, penggunaan kata sapaan dan emoji, struktur kalimat yang enak dibaca dan didengar sampai selipan fatis (contoh: dong, deh, sih) dapat digunakan dan divariasikan. Khusus tentang fatis -kosakata yang tidak memiliki arti, namun membantu memberikan emosi- sendiri, Ivan Lanin menekankan tentang kekayaan ini yang tidak dimiliki bahasa lain. Fatis sering membuat orang asing yang belajar bahasa Indonesia menjadi bingung dalam mengartikan, sementara penggunaannya sendiri membantu meluweskan ucapan.

Misalnya saja, saat mengajak seseorang agar tidak terkesan memerintah, tentu lebih enak bilang ikut gue ke kantin sekarang, dong daripada ikut gue ke kantin sekarang bukan?

Berbahasa dengan baik dan benar juga dapat disesuaikan dengan konteksnya masing-masing. Misalnya saja media yang dipakai dalam berkomunikasi, situasi yang dihadapi sampai bidang yang ditekuni. Masing-masing tentu memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya saja, dalam salah satu pertanyaan yang diberikan peserta, Ivan Lanin dengan tegas menyatakan bahasa media sosial instansi pemerintah tentu tidak bisa santai karena bisa mencederai citra instansi. Namun, agar tetap terkesan familiar, bisa menggunakan teknik lain. 

Contohnya apa yang dilakukan OMBUDSMAN RI ini:


Teknik di atas dikenal sebagai teknik menunggang gelombang (riding the wave), terkenalnya poster film Korea Selatan yang menang Oscar tahun ini -Parasite- membuat banyak parodi poster yang sama dan mencuri perhatian masyarakat dengan cepat. 

Ivan Lanin memberikan banyak rujukan terkait bahasa Indonesia, untuk pilihan penggunaan kata dan kalimat yang tepat. Situs rujukan tersebut beberapa di antaranya sebagai berikut:

Tujuh situs dan atau kanal di atas dapat dipakai sebagai rujukan menemukan pilihan kata yang tepat untuk digunakan, agar kalimat yang akan disampaikan tidak terkesan kaku. 

Utamakan Bahasa Indonesia


Setiap selesai mengikuti sesi-sesi Ivan Lanin, saya selalu tercengang akan kekayaan Bahasa Indonesia yang seringsekali kita lupakan. Bukan karena tidak ingat, mungkin karena sudah terlalu biasa digunakan sehari-hari sehingga menjadi tidak ada yang istimewa. Ketika mencoba menelaahnya lebih dalam, ternyata banyak sekali keistimewaan Bahasa Indonesia yang belum saya ketahui dan merupakan keunggulan dibandingkan bahasa lain. 


Poster di atas selalu membuat saya sadar, mengutamakan Bahasa Indonesia bukan berarti melupakan keberadaan bahasa-bahasa lainnya. 

Sudahkah kamu mengutamakan Bahasa Indonesia?







1 comment:

  1. Belajar bahasa (lagi) itu asyik dan menyenangkan. Kebetulan saya juga pernah menulis hal yang sama, mari mampir ke blog aku kak.

    ReplyDelete