Monday, February 11, 2019

Kisah Pemberangusan Buku dan Literasi Indonesia



Penempatan Indonesia sebagai negara ke-60 dari 61 negara dalam World's Most Literate Nations menjadi satu masalah dan kekhawatiran tersendiri bagi dunia literasi Indonesia. Menurut daftar yang dibuat oleh Central Connecticut State University tahun ini, Indonesia bahkan menempati urutan kedua terendah dan hanya setingkat di atas Botswana (negara kecil di Afrika) dalam hal literasi.

Meningkatnya Penjualan Buku di Indonesia


Rendahnya semangat literasi masyarakat Indonesia membuat pemerintah sebaiknya mulai berpikir cara untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Industri percetakan sendiri saat ini tengah bergairah. Tirto.id mengungkap jumlah anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) telah mencapai lebih dari 1.000 anggota. Toko buku ritel terbesar di Indonesia, Gramedia, mencatat pertumbuhan penjualan buku meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya di 2018. Tidak ada masalah dari sisi permintaan dan penyediaan, karena tidak mungkin Gramedia bisa meningkatkan penjualan apabila tidak ada permintaan dari masyarakat. Sekarang tinggal dukungan dari pemerintah saja yang seharusnya semakin menyuburkan minat baca masyarakat.

Badan Pengawasan dan Keuangan Pembangunan (BPKB) mengungkap cara terbaik meningkatkan minat baca dengan memfasilitasi akses masyarakat ke sumber bacaan. Ada tiga pihak yang sebaiknya bekerja sama: penulis, penerbit dan pemerintah. Menilik dari data IKAPI dan Gramedia sebelumnya, terlihat jelas kerjasama antara penulis dan penerbit sudah terjalin dengan baik. Satu yang tersisa, pemerintah. Dukungan pemerintah yang paling bermanfaat adalah memberikan akses yang mudah untuk masyarakat ke sumber bacaan. Beberapa contoh yang dikemukakan BPKB meliputi membentuk dan mempercantik perpustakaan sekolah, daerah dan nasional. Setelah itu, mempromosikannya. Perpustakaan Nasional (Perpusnas) di Medan Merdeka, Jakarta, contohnya. Gedung perpustakaan dibuat nyaman untuk tempat membaca atau sekadar bersantai, sistem peminjaman buku mudah dan lokasinya terbuka untuk dipakai berbagai macam acara, terutama yang berkenaan dengan literasi. Salah satu cara promosi yang baik untuk perpustakaan tersebut.

Acara Gramedia Writing & Readers Forum di Perpusnas (gambar dari sini)

Inisiatif pemerintah yang sudah baik dengan perpusnas ini misalnya, sangat sayang apabila dinodai dengan tindakan-tindakan pemberangusan buku yang banyak terjadi belakangan ini. Fokus pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia dapat dengan mudah terpecah. Masyarakat bisa saja semakin malas membaca. Karena belum apa-apa, ada-ada saja pihak yang sudah memutuskan tentang buku apa yang boleh dan tidak boleh dibaca oleh warga negara. Bisa jadi, kasus pemberangusan buku ini malah memiliki efek domino.

Maraknya Pemberangusan Buku di Indonesia


Namun, alih-alih berupaya meningkatkan literasi Indonesia yang tengah menyandang predikat miris, malah akhir-akhir ini pemberangusan buku marak dilakukan. Sejak akhir Desember tahun lalu, aparat yang bertugas di beberapa daerah menyambangi toko buku dan menyita buku-buku ‘kiri’, khususnya yang dianggap menganut paham komunis.

Konyolnya, mereka merasa bertindak heroik dengan mata tertutup. Bisa ditakar pengetahuan mereka perihal buku-buku yang mereka sita seenaknya, hanya bermodal sampul dan judul, semua buku disapu rata untuk diamankan. Padahal, kebijakan peredaran buku sudah diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2017, tentang sistem perbukuan. Pasal 69 dalam UU tersebut menyebutkan pengawasan buku seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku perbukuan dan masyarakat dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dengan tetap menjaga kebebasan berekspresi.

Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 menyatakan untuk menangani barang cetakan, jaksa agung tetap harus ada pembatasan yang jelas yaitu harus terlebih dahulu mendapat penetapan izin pengadilan negeri dan berdasar pada alasan yang jelas dan pasti. Seakan mengabaikan konstitusi, aparat keamanan bergerak melakukan razia buku sejak akhir Desember kemarin. Bermula pada 26 Desember 2018 di Kediri, disusul 8 dan 9 Januari 2019 di kota Padang dan Tarakan. Kejadian yang semakin memperkuat pemberangusan buku ini adalah pernyataan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pada rapat kerja dengan komisi III DPR RI, Rabu, 23 Januari 2019. Bahwa perlu dilakukan razia buku yang memang mengandung unsur PKI dan perlu dilakukan perampasan di mana pun buku itu berada.

Buku-buku yang diberangus di Ternate (gambar dari sini, aslinya dari sini)

Pemberangusan buku yang 'katanya' mengandung paham ‘kiri’ dan berbau komunisme adalah gambaran betapa ketakutannya beberapa pihak di negeri ini. Cara untuk menutup mata dari peristiwa yang terjadi di tahun 1965. Memotong akses. Bahkan ketakutan-ketakutan itu hanyalah berdasarkan pada buku-buku dengan judul dan cover berbau paham kiri tadi. Merusak ideologi, katanya. Toh, mereka-mereka yang katanya aparat, jika ditanya tentang isi dari buku-buku yang mereka sita, belum tentu tahu dan paham. Jangankan tahu, membuka buku itu saja, rasanya tidak. Mereka terlalu dibutakan dengan pemikiran bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan ‘antek PKI’ ataupun marxisme haruslah dimusnahkan, tidak untuk dipublikasikan. Biar tetap bungkam. Biar tak lagi diungkit. Biar yang terjadi di masa lalu hanya menjadi sejarah yang benar-benar punah. Mereka bahkan lupa bahwa buku adalah jendela ilmu. Ada fakta-fakta yang diungkap di dalamnya. Kalau bukan dengan buku, lalu dengan apa sejarah bisa mengungkap fakta. Sekali lagi, don’t judge the book by its cover.


Manusia Makhluk Pintar



Memang benar, pemikiran seseorang tergambar dari apa yang mereka baca. Tapi, bukankah manusia adalah makhluk yang sempurna. Diciptakan Tuhan dengan memiliki akal dan pikiran. Maka ketika membaca buku-buku ‘terlarang’ tadi, tak lantas berarti langsung menelan bulat-bulat informasi yang didapat dari bahan bacaan tersebut. Sebab, seseorang bebas memilah dan memilih. Untuk tahu mana hal yang baik, maka seseorang juga perlu tahu apa-apa yang buruk. Untuk tahu jalan yang lurus, maka perlu tahu dulu mana jalan yang menyimpang. Cukup tahu, bukan untuk masuk dan menjadi bagian di dalamnya. Lalu, ketika seorang hendak mencari tahu apa itu komunisme, paham kiri, dan berbagai sejarah yang katanya menyimpang, dari mana mereka bisa mendapatkan informasi, jika bukan dari buku-buku yang justru diberanguskan? Padahal bisa saja tujuan si orang tadi membaca, hanyalah untuk studi sejarah dan keilmuan.


Masyarakat seakan dibuat buta, tapi tidaklah perlu dibodoh-bodohi. Putusan MK No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 saja menyatakan bahwasanya dalam menangani barang cetakan, jaksa agung juga harus ada pembatasan yang jelas yaitu harus terlebih dahulu mendapat penetapan izin pengadilan negeri dan berdasar pada alasan yang jelas dan pasti. Dengan kata lain, proses pemberangusan buku-buku tanpa melalui proses peradilan, sama halnya dengan mengambil hak pribadi secara sewenang-wenang yang melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Lalu berhakkah para aparat dengan semena-mena memberanguskan buku-buku tadi tanpa prosedur yang sesuai dan mengabaikan hukum yang berlaku? Seperti kasus pemberangusan buku yang terjadi di Kediri, Padang dan Tarakan. Sedang di sisi lain, pemerintah sedang gencar-gencarnya meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia.

Sekali lagi, setiap orang, khususnya para penulis, berhak berekspresi. Tinggal para pembaca yang dituntut cerdas memilih apa yang cocok dan hendak mereka baca. Bukan malah mendukung terjadinya proses pemberangusan buku-buku hanya karena sebuah kekalutan, pun ketakutan yang katanya akan merusak ideologi bangsa.

Kalau menurut kamu sendiri, apakah langkah pemberangusan buku ini sudah tepat?

---

Tulisan ini dibuat bersama oleh Asti, Fian dan Niar dalam rangka memenuhi tantangan menulis #katahatichallenge #katahatiproduction

---

Sumber Artikel:

- https://nasional.kompas.com/read/2016/05/12/21141091/Pemberangusan.Buku.Dinilai.Melanggar.Konstitusi
- https://tirto.id/kebodohan-razia-di-tengah-peningkatan-minat-konsumsi-buku-deyy
- https://katakerjalampau.wordpress.com/2019/01/17/ketika-para-penguasa-memilih-takut-dengan-buku/